Daily Archives: October 4, 2011

Problem Hukum Upah Proses Pasca Putusan MK Oleh: Willy Farianto *)

Problem Hukum Upah Proses Pasca Putusan MK
Oleh: Willy Farianto *)
Selasa, 04 October 2011
Putusan MK yang menyatakan upah proses dalam masa skorsing harus dibayarkan hingga putusan berkekuatan hukum tetap dianggap tidak adil dan memberatkan pengusaha.

Praktik hukum ketenagakerjaan khususnya dalam hal perselisihan pemutusan hubungan kerja yang saat ini diterapkan para praktisi, baik pihak pengusaha, pekerja, pemerintah (mediator) dan hakim dalam melakukan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), sesungguhnya telah sesuai sesuai dengan peraturan perundang undangan. Dengan menempuh proses hukum perundingan bipartit, mediasi dan pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Dalam praktik apabila ditemukan bukti pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan maka pengusaha akan mengundang karyawan untuk melakukan perundingan bipartit. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan maka diterbitkan surat skorsing. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya perbuatan berlanjut seperti menghilangkan dokumen atau untuk memberikan ruang yang cukup bagi karyawan dalam menjalani proses hukum.

Tindakan skorsing diperbolehkan oleh undang-undang, asalkan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima oleh karyawan. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi ketentuan pasal tersebut tidak menjelaskan sampai kapan upah beserta hak-hak lain harus tetap dibayarkan oleh pengusaha kepada karyawan yang sedang diskorsing.

Oleh karena tindakan skorsing yang diatur dalam ketentuan Pasal 155 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, maka perlu dikaji isi ketentuan yang berbunyi, sebagai berikut: Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

Ketentuan yang berbunyi “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan…..” oleh para praktisi ditasfirkan sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial, sehingga setelah majelis hakim membacakan putusan, maka hubungan kerja telah berakhir, termasuk hak dan kewajiban dari pengusaha dan pekerja.

Dasar penafsiran tersebut telah diterapkan dalam praktik hukum ketenagakerjaan untuk dasar melakukan pembayaran upah skorsing atau sering disebut sebagai upah proses, sehingga pengusaha hanya akan membayarkan upah skorsing atau upah proses sampai dengan putusan Pengadilan Hubungan Industrial.

Namun demikian, ada juga yang menerapkan pembayaran upah skorsing atau upah proses hanya untuk jangka waktu selama enam bulan. Praktik ini merujuk pada aturan sebelumnya yang pernah mengatur mengenai jangka waktu skorsing selama enam bulan yakni, Kepmenaker No 150 tahun 2000.

Jangka waktu enam bulan tersebut sebenarnya lebih tepat karena apabila dibandingkan dengan ketentuan yang diatur oleh UU No 2 tahun 2004 tentang PPHI, yang mengatur waktu bipartit 30 hari kerja, mediasi 30 hari kerja, PHI 50 hari kerja, secara keseluruhan waktu penyelesaian hampir sama dengan lima setengah bulan kalender. Artinya pembayaran upah skorsing untuk jangka waktu enam bulan masih sesuai dengan hukum acara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Meskipun demikian dalam praktik pengusaha lebih banyak yang memilih melakukan pembayaran upah skorsing sampai dengan putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dengan mendasarkan kepada ketentuan Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Hal tersebut disebabkan banyak pengalaman pahit yang dialami pengusaha ketika menghentikan atau tidak membayarkan upah selama masa skorsing, sebelum Pengadilan Hubungan Industrial menjatuhkan putusan.

Beberapa contoh pengalaman pengusaha yang tidak membayarkan upah skorsing atau upah proses, oleh pekerja dilaporkan ke Kepolisan dengan alasan pengusaha telah melakukan penggelapan atau perbuatan tidak menyenangkan dan lain sebagainya.

Kondisi yang konkret membuktikan bahwa proses penyelesaian yang diatur oleh undang-undang waktunya lebih banyak mundur atau lebih dari enam bulan, karena pengusaha yang kurang aktif dalam melakukan proses hukum yang ditentukan oleh undang-undang, atau karena pekerja yang tidak kooperatif. Artinya dalam kurun waktu tersebut pengusaha harus tetap membayarkan upah pekerja. Padahal kerap kali diketahui karyawan yang masih dalam proses skorsing telah diterima bekerja di tempat lain.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Praktik hukum yang telah berjalan selama ini sesungguhnya masih dapat dimengerti dan diterima oleh pengusaha dan kalangan praktisi. Namun kondisi tersebut akan berubah dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 37/PUU-IX/2011, tentang permohonan Pengujian UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, tanggal 19 September 2011, yang amar putusannya menyatakan:

Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘belum berkekuatan hukum tetap’.

Dengan putusan tersebut jangka waktu pembayaran upah skorsing atau upah proses terhadap pekerja yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mengalami perubahan. Oleh karena penafsiran Pasal 155 ayat 2 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenai anak kalimat “belum ditetapkan” harus dimaknai “belum berkekuatan hukum tetap”.

Pertanyaannya adalah ADILKAH? Jawabanya tentu “tidak bagi Pengusaha” karena perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) akan menjadi beban bagi pengusaha baik dari segi biaya mapun waktu. Dari segi biaya jelas pengusaha sangat dirugikan karena harus membayar upah skorsing atau upah proses untuk jangka waktu yang panjang yakni sampai putusan berekekuatan hukum tetap. Sedangkan dari segi waktu pengusaha dirugikan karena proses hukum yang menggantung untuk waktu yang cukup lama.

Pada umumnya pekerja yang melakukan perselisihan PHK banyak yang merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Hubungan Industrial sehingga mengajukan upaya hukum kasasi. Sementara perkara pemutusan hubungan kerja (PHK) di tingkat kasasi akan memakan waktu rata-rata sekitar 1,5 s/d 2 tahun, terhitung sejak proses permohonan kasasi sampai dengan diterimanya pemberitahuan putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial. Padahal menurut ketentuan Pasal 115 UU PPHI, Mahkamah Agung sudah harus menyelesaikan atau memutus perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja dalam waktu 30 hari kerja.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Agung harus dapat segera memperbaiki sistem administrasinya sehingga perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja pada tingkat kasasi dapat segera diputus.

Pemasalahan Pengusaha.

Dengan kondisi administrasi mahkamah Agung saat ini maka putusan Mahkamah Konstitusi menjadi tidak adil bagi pengusaha karena akan menimbulkan beberapa permasalahan atau pertanyaan, sebagai berikut:

1. Bagaimana dengan karyawan yang telah bekerja ditempat lain sebelum putusan berkekuatan hukum tetap, apakah masih berhak menerima upah proses atau upah selama skorsing?

2. Bagaimana menghitung pesangon, pengahargaan masa kerja dan penggantian hak? Apakah mengikuti masa kerja sampai dengan putusan berkeuatan hukum tetap?

3. Bagaimana apabila upaya hukum kasasi digunakan sebagai akal-akalan oleh karyawan supaya tetap menerima upah tanpa perlu bekerja?

4. Bagaimana perhitungan masa kerja karyawan kontrak yang menurut perjanjian kerja waktu tertentu seharusnya telah berakhir, apakah tetap berjalan masa kerjanya sampai putusan berkekuatan hukum tetap?

5. Bagaimana apabila karyawan pada saat menunggu putusan berkekuatan hukum tetap telah bekerja di tempat lain, kemudian membuat masalah baru supaya diproses PHK ditempat yang baru dan memperoleh upah proses seperti diperusahaan sebelumnya sampai putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap?

Banyak pertanyaan yang muncul akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi tugas pemeritah untuk memberikan jawaban atas berbagai permasalahan yang akan timbul akibat Putusan Mahkamah Konstitusi No 37/PUU-IX/2011, tentang permohonan Pengujian UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, tanggal 19 September 2011.

Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebaiknya organisasi-organisasi pengusaha segera meminta petunjuk kepada Kementerian Tenagakerja terkait dengan berbagai permasalahan yang akan timbul. Petunjuk pemerintah tersebut akan sangat efektif apabila dilahirkan dalah bentuk peraturan atau regulasi meskipun tingkatannya di bawah undang-undang namun setidaknya akan memberikan jawaban apabila muncul permasalahan.

*Advokat/Partner pada Farianto & Darmanto Law Firm

Leave a comment

Filed under HUKUM Ketenagakerjaan

Sahkah Pernikahan Beda Agama di Catatan Sipil?

Sahkah Pernikahan Beda Agama di Catatan Sipil?
Pertanyaan :

Saya (Katolik) dan pasangan (Budha) berencana menikah dengan tetap pada agama masing-masing. Apakah bisa menikah lewat Catatan Sipil dan sah secara hukum? Jika ya, bagaimana proses pengurusan dan lewat mana? Jika pasangan memiliki aset (rumah) telah diproses KPR sebelum kami menikah. Jika terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan pada pasangan ketika kami menikah. Apakah aset (rumah) tersebut bisa dituntut oleh pihak keluarga karena status ketika proses KPR dan kepemilikan rumah adalah status belum menikah. Mohon info dan saran.

Jawaban :

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Jadi, UU 1/1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan.

Adapun Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar-agama adalah bahwa perkawinan antar-agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan perkawinan beda agama. Dalam proses perkawinan antar-agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar-agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil.

Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada Pasal 56 UU 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung. Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya, perkawinan antar-agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan (Soedharyo Soimin, “Hukum Orang dan Keluarga”, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, dan “Himpunan Yurisprudensi Tentang Hukum Perdata”, Jakarta: Sinar Grafika, 1996).

Jika pasangan memiliki aset (rumah) telah diproses KPR sebelum menikah, maka aset tidak termasuk dalam harta bersama, tetapi merupakan harta bawaan salah satu pihak (bergantung aset tercatat atas nama siapa). Berdasarkan hukum waris perdata, maka harta bawaan menjadi harta warisan, berarti aset (rumah) tersebut bisa dituntut oleh pihak keluarga karena status ketika proses KPR dan kepemilikan rumah adalah status belum menikah.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Penanya: Soletha
Jawaban oleh: Flora Dianti, S.H., M.H.
Sumber: DPC AAI Jakarta Pusat
Diterbitkan:08.07.11 08:00
Dibaca: 2055

Leave a comment

Filed under Hukum Keluarga & Waris, Hukum Perdata

Bisakah Menuntut Ayah Karena Tidak Memberi Nafkah?

Bisakah Menuntut Ayah Karena Tidak Memberi Nafkah?
Pertanyaan :

Assalamualaikum. Saya Rizka umur 20 tahun, anak dari seorang bapak yang menurut saya tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Pada Januari 2011, saya dan keluarga mencari papa yang hilang, dan akirnya kami menemukan papa di rumah wanita lain, yang dia sebut sebagai istrinya. Ternyata dari 2008 mereka sudah saling kenal dan menikah siri di (?) pada 2009 tanpa sepengetahuan keluarga saya. Akhirnya saya menarik kembali papa saya ke rumah, dengan harapan bisa kumpul kembali seperti dulu. Tapi tidak lama setelah itu, papa saya pergi lagi. Mungkin karena tekanan dari keluarga kami karena kami masih belum bisa menerima kenyataan kalau papa saya bersikap seperti itu. Sudah 3-4 bulan papa saya pergi tanpa meninggalkan pesan dan memberi kabar ke saya dan keluarga, tapi kami sudah mencari berkali-kali, bahkan keluar kota, tapi tidak ketemu. Belakangan saya menyelidiki facebook dari anak selingkuhan papa, ternyata papa ada bersama keluarga mereka. Hari ini, saya melihat foto papa bersama keluarga selingkuhannya di-upload ke facebook. Papa pergi meninggalkan banyak hutang dan sudah sekitar 2 tahun ini tidak pernah memberi nafkah. Salah satunya saya pernah berhutang ke pacar saya sejumlah Rp25 juta untuk modal usaha papa saya, tapi saya baru tahu kalau uang itu dipakai buat menghidupi keluarga selingkuhannya juga. Mama saya juga sudah berkorban banyak untuk papa saya. Sekarang, apakah saya, kakak saya, dan mama saya, bisa memberi pelajaran (menuntut) pada papa saya atas hal yang tidak dipertanggungjawabkannya itu? Dan apakah saya bisa menuntut selingkuhannya papa? Kalau iya, maka pasal apa saja dan apa hukuman yang tepat? Saya berharap tidak ada perceraian antara mama dan papa, karena saya masih berharap besar keluarga saya bisa utuh kembali. Mohon jawabannya. Terima kasih.

Jawaban :

Sebelumnya, kami turut prihatin dengan masalah yang keluarga Anda alami saat ini.

Dari cerita yang Anda sampaikan, setidaknya ada tiga hal yang akan kami diskusikan dalam jawaban ini yaitu hal terkait dengan nafkah yang tidak diberikan, adanya utang, dan perkawinan siri ayah Anda dengan perempuan lain.

1. Nafkah yang tidak diberikan.

Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Khusus bagi yang beragama Islam, kewajiban suami terkait dengan nafkah diatur dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Dalam pasal itu diatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. biaya pendidikan bagi anak.

Dan jika suami melalaikan kewajibannya, istri dapat mengajukan gugatan nafkah ke Pengadilan (lihat Pasal 34 ayat [3] UUP). Bagi penganut agama Islam gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada domisili tergugat dan bagi yang beragama lainnya gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada domisili tergugat.

Dalam salah satu artikel hukumonline “Kejarlah Nafkah Sampai ke Pengadilan” dijelaskan antara lain bahwa istri yang tidak dinafkahi suaminya bisa mengajukan gugatan nafkah, tanpa perlu membikin gugatan cerai. Demikian pendapat dari hakim Mahkamah Agung Andi Syamsu Alam sebagaimana dikutip dalam artikel tersebut. Lebih jauh dalam artikel itu ditulis:

“Meski dibolehkan Undang-undang, gugatan nafkah memang belum popular di masyarakat. Banyak yang tidak tahu gugatan nafkah bisa diajukan. ‘Bahkan kalau misalnya anak butuh biaya sekolah tapi bapaknya yang mampu ternyata tidak mau membiayai, itu bisa digugat,’ jelas Andi.

“Hal positif dibolehkannya gugatan nafkah, ujar Andi, adalah utuhnya biduk rumah tangga. Hakim selaku pemutus sengketa selalu menekankan agar pasutri yang ingin bercerai membatalkan niatnya. ‘Yang paling penting dalam gugatan nafkah adalah pembuktian. Harus jelas berapa penghasilan suami; berapa nafkah yang layak diberikan untuk istri dan anak,’ jelas Andi.”

Jadi, atas nafkah yang tidak diberikan oleh ayah Anda, keluarga Anda dapat mengajukan gugatan nafkah agar kewajiban tersebut dapat diberikan oleh ayah Anda sesuai dengan penghasilannya.

Selain itu, mengenai ayah Anda yang meninggalkan kewajiban-kewajibannya terhadap keluarganya juga dapat dijerat dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT diatur bahwa “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.” Orang yang melanggar pasal tersebut diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 49 huruf a jo Pasal 9 ayat [1] UU PKDRT).

2. Adanya utang.

Perlu digarisbawahi bahwa setiap orang yang berutang memiliki kewajiban untuk melunasi utang tersebut. Bila utang tidak dilunasi, debitor dapat digugat wanprestasi (Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata – “KUHPerdata”). Lebih jauh mengenai wanprestasi simak Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH.

Dengan demikian, memang Anda perlu berhati-hati apabila meminjam uang tapi untuk keperluan orang lain (dalam hal ini ayah Anda), namun menggunakan nama Anda sebagai peminjam. Dengan demikian, kewajiban untuk melunasi ada pada Anda karena perikatan yang terjadi (kreditor dan debitor) adalah antara Anda dengan pacar Anda, meskipun ayah Anda yang menggunakan uang tersebut. Dan terhadap utang-utang yang lain, ayah Anda berkewajiban untuk melunasinya. Bila tidak, ada kemungkinan pada kreditor akan menggugat ayah Anda dengan gugatan wanprestasi.

3. Perkawinan siri.

Istilah kawin siri lazimnya mengacu pada perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama (Islam), namun tidak dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan siri tidak diakui oleh hukum negara. Akibatnya, hak-hak istri yang dikawin secara siri serta anak-anaknya tidak dilindungi oleh hukum jika si suami tidak memenuhi hak-hak tersebut. Sang istri misalnya tidak dapat menggugat si suami jika suatu saat yang bersangkutan meninggalkan dia dan anak-anaknya. Demikian kurang lebih status perkawinan siri ayah Anda dengan istri sirinya.

Karena perkawinan siri ayah Anda tidak diakui secara hukum, maka ibu Anda tidak dapat menuntut agar perkawinan siri tersebut dibatalkan. Simak pula Perceraian Kawin Siri.

Jadi, dengan asumsi perkawinan ayah Anda dengan ibu Anda dahulu dilakukan sesuai hukum yang berlaku (sesuai hukum agama dan dicatatkan), maka yang diakui oleh hukum adalah perkawinan ayah Anda dengan ibu Anda. Yang dapat dilakukan ibu Anda dalam hal ini adalah sebagaimana telah dijelaskan dalam jawaban no. 1 di atas.

Demikian jawaban dari kami, semoga Anda dan keluarga dapat menemukan jalan keluar yang terbaik.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

4. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Leave a comment

Filed under Hukum Keluarga & Waris, Hukum Perdata

Bagaimana Prosedur Cerai Jika Suami Anggota Militer?

Pertanyaan :

Mohon info bagaimana prosedur cerai bagi istri yang bersuamikan anggota militer? Apakah bisa diproses di pengadilan non-militer? Sang istri dari kalangan sipil. Alasan cerainya karena suami sering melakukan KDRT dan sudah bertahun-tahun menelantarkan istri beserta dua anak yang masih kecil. Terima kasih.

Jawaban :

Pada dasarnya, prosedur perkawinan dan perceraian bagi anggota militer/Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (lihat Pasal 63 ayat [1] UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia). Sehingga, apabila pasangan tersebut beragama Islam, maka permohonan cerai dimohonkan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon, dalam hal ini suami (lihat Pasal 66 ayat [2] UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Sedangkan, apabila Anda beragama selain Islam, gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Lebih jauh mengenai proses perceraian simak Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat?.

Untuk dapat melakukan perceraian, harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tidak lagi dapat hidup rukun sebagai suami isteri (lihat Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan – “UUP”). Menurut penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Selain alasan-alasan tersebut di atas, khusus bagi Pegawai (Pegawai Negeri Sipil/PNS dan anggota TNI) yang hendak bercerai, sebenarnya harus mendapat izin dari Pejabat yang berwenang (lihat Pasal 9 ayat [1] Peraturan Menteri Pertahanan No. 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan – “Permenhan 23/2008”). Kewenangan pemberian izin perceraian bagi Pegawai di lingkungan Departemen Pertahanan menurut Pasal 16 Permenhan 23/2008 adalah sebagai berikut:

(1) Presiden untuk Pejabat Menteri Pertahanan.

(2) Menteri Pertahanan untuk Pejabat :

a. Pejabat Eselon I dan II PNS di lingkungan Departemen Pertahanan; dan

b. PNS Golongan Ruang IV/d sampai dengan IV/e di lingkungan

(3) Departemen Pertahanan.

(4) Panglima TNI untuk Pejabat Perwira Tinggi yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan.

(5) Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan untuk Pejabat :

a. Pejabat Eselon III dan IV PNS di lingkungan Departemen Pertahanan;

b. Prajurit TNI berpangkat Letnan Kolonel dan Mayor yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan; dan

c. PNS Golongan Ruang IV/a sampai dengan IV/c di lingkungan Departemen Pertahanan.

(6) Kepala Staf Umum TNI untuk Pejabat Perwira menengah berpangkat Kolonel di lingkungan Departemen Pertahanan.

(7) Ka Satker/Sub Satker Dephan untuk :

a. PNS Golongan Ruang III/d ke bawah di lingkungan Departemen Pertahanan; dan

b. Prajurit TNI berpangkat Kapten ke bawah yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan.

Namun, dalam hal istri warga sipil yang ingin mengajukan gugatan perceraian, maka gugatan perceraian terhadap suami disampaikan langsung ke Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama (lihat Pasal 14 ayat [1] Permenhan 23/2008). Dan suaminya sebagai anggota TNI wajib menyampaikan kepada Pejabat yang berwenang perihal adanya gugatan cerai yang diajukan terhadapnya (lihat Pasal 14 ayat [2] Permenhan 23/2008). Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat (3) Permenhan 23/2008 dinyatakan bahwa dalam hal Pegawai digugat melalui pengadilan, atasan yang berwenang wajib memberikan pembelaan.

Jadi, sang istri dapat menggugat cerai suaminya yang berstatus anggota TNI melalui Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri dengan alasan telah melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan menelantarkan istri dan anak-anaknya selama bertahun-tahun. Namun, perceraian sebaiknya menjadi upaya terakhir karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (lihat Pasal 1 UUP).

Leave a comment

Filed under Hukum Keluarga & Waris, Hukum Perdata

Bagaimana Hukum Hak Waris Anak Tiri?

Bagaimana Hukum Hak Waris Anak Tiri?
Pertanyaan :

Saya ingin menanyakan, apabila seorang anak dari pernikahan terdahulu tidak diadopsi terlebih dahulu sebelum pernikahan oleh orang tua tirinya yang baru menikah dengan orang tua kandungnya. Dan akta kelahiran anak tersebut telah hilang dan digantikan dengan akta kelahiran baru yang mencantumkan orang tua kandung dan orang tua tirinya yang baru sebagai orang tua kandungnya. Dan orang tua kandung dan orang tua tiri anak tersebut adalah beragama muslim, dan telah dikarunia 2 orang anak dari pernikahan yang baru, serta satu anak dari pernikahan terdahulu. Apakah konsekuensi hukum bagi anak dari pernikahan terdahulu tersebut, berkaitan dengan identitas diri, dan hak warisnya di kemudian hari? Selain itu, anak tersebut juga memiliki hubungan silaturahim yang terputus dengan orang tua kandungnya yang lain, yang telah menikah lagi juga dan dikaruniai seorang anak. Apakah konsekuensi hukum bagi anak tersebut? Saran-saran apa yang dapat diberikan kepada anak tersebut? Terima kasih.

Jawaban :

Anak tiri adalah anak salah seorang suami atau isteri sebagai hasil perkawinannya dengan isteri atau suaminya yang terdahulu. Misalnya, anak tiri seorang ayah, ialah anak isterinya sebagai hasil perkawinan isterinya itu dengan suaminya terdahulu. Anak tiri seorang ibu, ialah anak suaminya sebagai hasil hasil perkawinan suaminya itu dengan isterinya terdahulu (Muslich Maruzi, “Pokok-Pokok Ilmu Waris”, hal. 84).

Pada dasarnya, anak tiri hanya memiliki hubungan kewarisan dan keperdataan dengan orang tua sedarah. Adanya hubungan dengan orang tua sedarah tersebut dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (lihat Pasal 55 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Untuk kasus Anda, dalam akta kelahiran dinyatakan bahwa anak tiri dinyatakan memiliki hubungan sedarah dengan Anda yang sebenarnya tidak memiliki hubungan sedarah. Ini berarti telah terjadi pelanggaran hukum. Akibat dari pemakaian akta kelahiran tersebut (tentunya jika bisa dibuktikan di depan persidangan) orang yang menggunakan dan membuat akta lahir tersebut bisa terkena masalah hukum, baik pidana maupun perdata.

Adapun tentang anak tiri bukanlah ahli waris (lihat Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam). Artinya, ia tidak dapat saling mewarisi antara dirinya dengan orang tua tirinya. Sebab, mewarisi terbatas pada 3 (tiga) sebab saja, yaitu:

1. Sebab kekerabatan (qarabah), atau disebut juga sebab nasab (garis keturunan).

2. Sebab perkawinan (mushaharah), yaitu antara mayit dengan ahli waris ada hubungan perkawinan. Maksudnya adalah, perkawinan yang sah menurut Islam, bukan perkawinan yang tidak sah, dan perkawinan yang masih utuh (tidak bercerai).

3. Sebab memerdekakan budak (wala`).

(Muslich Maruzi, “Pokok-Pokok Ilmu Waris”, hal. 10; Imam Ar-Rahbi, “Fiqih Waris” (terjemahan), hal. 31, dan; Syifa’uddin Achmadi, “Pintar Ilmu Faraidl”, hal. 18).

Namun demikian, kepada anak tiri mubah (boleh, ed.) hukumnya untuk diberi wasiat oleh orang tua tirinya. Dengan syarat, harta yang diberikan sebagai wasiat itu tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta orang tua tirinya yang meninggal. Jika wasiatnya melebihi 1/3 (sepertiga), maka pelaksanaanya bergantung pada persetujuan para ahli waris. (lihat Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam).

Hal lain yang dapat terjadi, andaikata ayah meninggal, maka ahli warisnya adalah seorang isteri, dan anak kandungnya baik dari perkawinan terdahulu maupun anak dari pernikahan yang baru. Sedangkan, anak tiri yang dibawa oleh isteri, bukanlah ahli waris namun dapat diberikan hibah wasiat dengan syarat tidak lebih dari 1/3 harta warisan.

Saran yang dapat diberikan, sebaiknya membuat akta kelahiran yang sah, dengan menyatakan fakta yang sebenarnya siapa orang tua kandung sang anak. Pemakaian akta palsu atau tidak sah, dapat dikenakan Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan surat dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun.

Demikian jawaban dari saya, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)

Penanya: Mocha Al-massy
Jawaban oleh: Flora Dianti, S.H., M.H.
Sumber: DPC AAI Jakarta Pusat
Diterbitkan:01.08.11 12:00
Dibaca: 2434

Leave a comment

Filed under Hukum Keluarga & Waris